Gangguan jiwa menjadi masalah kesehatan yang signifikan karena jumlah penderitanya terus meningkat, termasuk dalam kategori penyakit kronis yang memerlukan proses penyembuhan yang panjang. Gangguan jiwa dapat dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang berbahaya dan sulit dikontrol adalah skizofrenia (Hartanto, 2021).
Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan serius yang perlu mendapat perhatian. Menurut World Health Organiztion (WHO), skizofrenia merupakan gangguan mental serius yang mempengaruhi sekitar tujuh dari 1000 populasi orang dewasa, kebanyakan dalam rentang usia 15 - 35 tahun. Pada tahun 2017 WHO memprediksikan jumlah penderita gangguan jiwa termasuk skizofrenia adalah sekitar 450 juta jiwa. Hasil pendataan kesehatan untuk skizofrenia ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es, di mana angka sebenarnya di lapangan dapat lebih besar, karena stigma yang negatif mengenai gangguan jiwa yang menyebabkan kejadian gangguan jiwa atau skizofrenia banyak yang tidak terlaporkan atau disembunyikan oleh masyarakat.
Klien yang mengalami skizofrenia cenderung mengalami gangguan dalam menjalankan fungsi dan peran sehari-hari, seperti perawatan diri, bersekolah, bekerja, dan fungsi lainnya. Oleh karena itu, bantuan dari pihak lain, terutama keluarga, sangat diperlukan agar klien tetap dapat bertahan hidup. Mengingat tingginya prevalensi dan sifat kronis dari skizofrenia, penanganan medis dengan obat-obatan saja tidak cukup. Terapi juga diperlukan untuk meningkatkan kemandirian klien, sehingga selama menjalani pengobatan, kemandirian klien dapat ditingkatkan dan ketergantungan pada orang lain dapat dikurangi.