Warisan Rudini di Lembah Manglayang
Julio 4, 2024
Muhadam Labolo

Metrics

  • Eye Icon 0 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 0 views  //  0 downloads
Warisan Rudini di Lembah Manglayang Image
Abstract

Buku kecil ini adalah catatan dari banyak Warisan Rudini di Lembah Manglayang. Produknya, Kader Pamongpraja yang dalam 30 tahun sepeninggalnya telah memperlihatkan kontribusi nyata bagi pemajuan bangsa. Ia orang pertama yang menakhodai Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) hingga metamorfosanya, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Buku ini tak hanya menceritakan sepenggal kisah Rudini, juga keributan di barak, kegaduhan di Parade, hingga kecemasan di kesatrian, tempat dimana anak-didiknya meresapi semua perintah lisan dan tulisan tanpa perlu mengadu pada sesiapa. Semua gelisah itu cukup menjadi penanda tentang proses pendidikan yang melingkupi pengajaran, pelatihan dan pengasuhan.
Semua kesan yang terbangun dari berbagai peristiwa di dalam dan selepas pendidikan menjadi kenangan indah untuk direnung-ulang. Pada kesempatan tertentu diperbincangkan kembali bukan hanya sebagai bahan canda-tawa sehari-semalaman, tapi pelajaran berharga yang baru disadari setelah bertahun-tahun menyelami profesi sebagai Pamong dilapangan.
Merembes memberi pelajaran soal bagaimana mengelola resiko. Menghadap pengasuh berhubungan dengan bagaimana menghadapi tipe atasan. Menggunakan resume soal bagaimana membaca policy brief dengan ringkas. Tidur saat kuliah tentang bagaimana waspada pada setiap pertanyaan tak terduga. Banyak berteman tentang bagaimana membangun relasi yang luas.
Mereka yang sering di hukum memberi pelajaran tentang bagaimana merasakan derita untuk tak perlu di ulang kembali. Mandi segayung menunjukkan kemampuan memanfaatkan sumber daya terbatas. Mereka yang berlari sambil tidur menunjukkan kualitas kepemimpinan multi talenta. Para pelaku transaksi nasi goreng menunjukkan kemampuan melihat peluang ekonomi untuk kesejahteraan umum.
Mereka yang HER Bahasa Inggris, Statistika dan Komputer berkali-kali memberi pelajaran tentang sukses sebagai akumulasi dari kegagalan. Mereka yang sering dipanggil ke Posko Manggala menunjukkan tentang kepemimpinan sebagai pribadi yang dikorbankan. Mereka yang lolos dari penggulungan memberi pelajaran tentang seni melepas diri, atau mungkin keberuntungan.
Mereka yang sering di rendam di Kolam Lele memberi pelajaran tentang ketahanan hidup pada suhu minus dan perairan dangkal. Mereka yang sering membantu menghabiskan makanan dari limpahan teman disamping karena takut tak habis, menunjukkan tentang kesadaran solidaritas di bawah tekanan. Mereka yang sering menggunakan tali-kurt saat cuti kendati bukan fungsionaris menunjukkan tentang tingginya kepercayaan diri (tebal muka dan tuna malu) mengambil resiko merayu perawan kampung.
Mereka yang sering menggantikan Jaga Barak dan mendampingi kawan sakit di KSA, RS. Sumedang dan Hasan Sadikin menunjukkan tentang bagaimana pengorbanan tulus, sekaligus menutupi kemiskinan ekonomi dan keamanan diri. Mereka yang jarang apel, upacara, jumatan, tarawih, serta puasa menunjukkan bagaimana kepemimpinan mampu berlindung di tengah ujian formalisasi dan spiritualitas. Mereka memang kader pemimpin, sekaligus juga manusia biasa yang punya insting untuk merespon setiap ancaman, tantangan, halangan dan gangguan. Buku ini bercerita tentang semua itu, baik dibaca oleh alumni dan keluarga besarnya.

Full text
Show more arrow
 

Metrics

  • Eye Icon 0 views
  • Download Icon 0 downloads
Metrics Icon 0 views  //  0 downloads